[CERPEN] Catatan Rasa

 


Pagi ini aku terbangun pada pukul tujuh pagi, dan melihat matahari sudah terang memperlihatkan kusamnya debu di atas lemari kamarku. Aku duduk di atas kursi belajar kesayanganku, mengingat kisah di mana diriku yang masih kecil belum mengenal rasa, masih sibuk membaca buku, dan hanya terfokus pada satu arah, yaitu kebahagiaan orang tua. Aku belum mengenal rasa sayang di luar keluarga, teman, sahabat, dan guru. Yang aku tahu, rasa sayang hanya berlaku bagi mereka yang dekat denganku secara umum.


Hingga suatu hari, aku ditemukan dengan sebuah rasa patah hati, di mana hal itu membuat perubahan yang cukup besar dalam hidupku.


Panggil saja dia Af. ia adalah cinta pertama dan juga patah hati yang pertama untukku, dan aku bersyukur akan itu. Sambil berlalunya hal tersebut, aku belajar bahwa people come and go. Mereka datang lalu pergi, entah manusia yang merebut atau Tuhan yang mengambil secara langsung.


Setelah enam bulan kulewati dengan rasa sakit, aku dipertemukan lagi dengan sosok yang tak kusangka akan menjadi jawaban atas doa dari rasa sakit di kala itu. Aku sempat merasa ragu dan takut untuk mengambil langkah yang baru. Namun, diriku berkata, “Apa salahnya untuk mencoba, daripada menyesal karena tak pernah mau melangkah?”


Kami bertemu pertama kali di sekolah, ketika aku masih duduk di bangku kelas 11. Dia, sebut saja Ko Khev, merupakan kakak tingkatku yang berada di kelas 12. Suatu hari, ia memberanikan diri untuk memulai perbincangan secara online dalam reply story foto pemandangan yang sempat kuunggah lewat media sosial milikku.


“Aku sering melihatmu di sekolah, di brosur, poster, majalah, dan sosial medianya,” pungkas Ko Khev.


Aku jawab dengan rasa bahagia karena dia mengenal keaktifanku di sekolah, “Ya begitulah, aku senang berada di posisi itu, berarti aku dibutuhkan dengan baik di sini”.


Ko Khev lalu membalas, “Cukup malu bagi mereka yang ingin berani memilihmu.


Aku dibuat bingung dengan maksud dari kalimat tersebut. Karena diriku tidak tahu bagaimana cara untuk meresponnya, aku hanya berkata, Semua orang punya, hanya tidak ingin menunjukkannya. Berbeda denganku.”


Setelah semua percakapan yang terjadi di empat bulan pertama, kami pun bertemu langsung, berlanjut menjalani kisah dan resmi menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih pada Januari 2019. Bukannya senang, justru aku merasa sedih, karena kami baru mulai berpacaran saat mendekati hari kelulusan Ko Khev. Hingga tibalah di hari kelulusannya, aku memberikannya seikat bunga biru, lengkap dengan secarik kertas berisi catatan romantis di dalamnya. Dia tersenyum, juga terkejut serta bingung, hanya kata terima kasih yang mampu ia sampaikan waktu itu.


Dia bekerja, aku sekolah. Walau sudah berbeda dunia, tapi semuanya tetap baik-baik saja. Aku bersyukur karena telah bertemu dengan penyembuh patah hati pertamaku. Hubungan percintaanku dan Ko Khev masih terjalin erat, bahkan ketika aku juga lulus sekolah dan memutuskan untuk berkuliah di Jakarta. Mau tidak mau kami berpisah, dan menjalani hubungan jarak jauh karena dia bekerja di Palembang. Ia mengantarku berangkat ke kota baruku. Bahagia rasanya bisa melanjutkan pendidikan ke universitas pilihanku. Namun, di sisi lain aku sedih karena harus berjarak dengan orang yang pernah menjadi jawaban atas patah hatiku saat itu.


Kami akhirnya berpisah di lobby utama Bandara Soekarno Hatta. Aku terdiam melihat senyum di wajah yang katanya “senang bisa mengantar dan melepasku di kota baru” itu. Di balik ekspresinya tersebut, aku mencoba memahami bahwa ‘mungkin’ ia takut berpisah denganku. Jujur aku pun sama, sampai akhirnya aku melambaikan tangan dengan gemetar sembari berkata, “Dah, see you, take care, God bless you. Thank you, ya.


Namun, sepatah kata itu hanya dibalas dengan sebuah senyuman dan pesan yang ia ketikkan, See you, jaga diri, dan jangan lupa ingatan.


Pecah tangis pertamaku saat perjalanan kembali menuju ke asrama kampus tempatku tinggal. Saat itu, aku berpikir bahwa diriku beruntung karena masih memiliki dirinya. Maka dari itu, kuputuskan untuk menyudahi rasa sedih itu dan fokus dengan apa yang akan aku jalani.


Seiring berjalannya waktu, kami mulai tenggelam dengan kesibukkan masing-masing. Sampai ketika aku mendengar nada dering yang tak asing, ya, itu notifikasi khusus telepon yang kusetel untuk Ko Khev.


Kuangkat panggilan telepon tersebut, dan ia menyapaku pertama kali, “Hai, apa kabar?”


Aku menjawab sapaannya, “Tentu aku baik, dirimu?”


“Ya, sama.


Setelah itu, ia langsung lanjut berbicara, “Aku ingin mengutarakan catatan rasaku.


Wajar aku terkejut, bukan? Karena saat itu semua terlihat norma-normal saja, aku balas kalimat itu dengan santai, “Iya utarakanlah, aku mendengarkan.


“Ehm... Aku bangga pernah masuk dalam kehidupanmu, aku bersyukur pernah diberi kesempatan sebagai penyembuh luka hebat pertamamu. Namun, aku menyesal untuk membawa luka baru ini, dan harus kuberi tahu bahwa aku tak sanggup lagi melangkah dengan jarak, dan aku ingin kau memahami keputusanku”.


Aku terdiam dengan sangat lama usai mendengar penjelasannya, sampai dengan berat hati kuberkata, “Iya, itu keputusanmu. Terima kasih sudah memberi tahu.”


Segera kututup panggilan itu setelah aku berbicara, tanpa meninggalkan satu patah kata pun sebagai penutup.


Kebahagiaan atas semua memori yang teringat di kala aku duduk di kursi belajarku mengundang tetesan pertama dipipiku. “Ah bodoh, terus saja aku mengenang tanpa sengaja seperti ini,” monologku. Aku sadar bahwa kenangan ini menepis sebuah realita yang seharusnya kubungkam saja. Namun, lagi-lagi kusadari bahwa sulit untuk menutup catatan rasa yang sudah diukir sejak lama. Terus saja aku mengingatnya, bahkan mengenang secara tidak sengaja, bergulat dengan diri sendiri antara ingin berhenti atau berlanjut dengan rasa sakit ini. Kelegaan tak pernah aku dapatkan selama diriku masih mengenang hal tersebut. Padahal, aku sudah jauh secara raga, tetapi terus saja kalimat terakhir itu terlintas di pikiranku, yang kuingat dengan betul sebagai tanda pengganti kata “pamit”.


Di penghujung rasa, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bersedih di atas kursi kesayanganku. Kupeluk foto kedua orang tuaku, terus kembali kuingatkan dalam diriku: pendidikan, bukan rasa. Cita-cita dulu, bukan cinta. Bahagia untuk mereka yang lebih tua harus jadi yang utama. Prioritas bukan soal rasa, tapi kebahagiaan. Untung-untung bisa bertahan hidup dengan idealistis. Jangan diributkan lagi dengan perasaan sendu terhadap catatan rasa.


Cukup. Jadikan semua itu sebagai pembelajaran, pengalaman, serta perbaikan bagi diri sendiri. Berdamai dengan rasa pahit akan kenangan masa lalu, kuputuskan untuk menutup catatan rasaku di hari itu, dan mengukir tulisan baru.

 


Palembang, 13 November 2020.


Penulis: Veronica Viona

Editor: Grecia, Wesiana Tirta

Photo by Aaron Burden on Unsplash


Komentar

Postingan Populer